Surabaya, Jogojatim.com – Wacana pembubaran komite sekolah mungkin terdengar radikal bagi sebagian orang, namun sudah saatnya kita meninjau ulang secara mendalam efektivitas dan relevansi lembaga ini dalam ekosistem pendidikan di Indonesia.
Meskipun dibentuk dengan niat mulia untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pendidikan, praktik di lapangan menunjukkan bahwa komite sekolah seringkali tergelincir dari tujuan awalnya dan bahkan menimbulkan berbagai permasalahan.
Komite sekolah, yang dasar hukumnya diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, awalnya dimaksudkan sebagai mitra sekolah dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan, menggalang dana, serta mengawasi kebijakan sekolah.
Namun, dalam banyak kasus, peran ini bergeser secara signifikan. Alih-alih menjadi wadah partisipasi yang konstruktif, komite sekolah kerap kali menjadi “badan pengumpul dana” yang memberatkan orang tua siswa.
Banyak laporan dan keluhan dari masyarakat menunjukkan bahwa iuran atau sumbangan yang ditetapkan oleh komite sekolah seringkali bersifat wajib dan memberatkan, terutama bagi keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.
Dalih sumbangan sukarela seringkali hanya di atas kertas, sementara di lapangan, ada tekanan terselubung yang membuat orang tua merasa wajib membayar demi keberlangsungan pendidikan anaknya. Praktik ini bertentangan dengan semangat pendidikan yang seharusnya mudah diakses dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Permasalahan lain yang sering muncul adalah adanya potensi konflik kepentingan di dalam komite sekolah. Anggota komite yang dipilih atau ditunjuk terkadang memiliki agenda pribadi atau kepentingan tertentu yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan terbaik siswa atau sekolah secara keseluruhan.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana yang dihimpun oleh komite sekolah juga sering menjadi tanda tanya besar. Audit yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali membuka celah bagi penyalahgunaan dana, yang pada akhirnya merugikan citra sekolah dan kepercayaan masyarakat.
Kasus-kasus pungutan liar (pungli) yang melibatkan komite sekolah bukan lagi rahasia umum. Meskipun pemerintah telah berupaya mengeluarkan regulasi untuk mencegah praktik ini, seperti larangan pungutan untuk kegiatan intrakurikuler dan buku pelajaran, pelanggaran masih sering terjadi. Ini menunjukkan bahwa pengawasan dan penegakan hukum terhadap komite sekolah masih lemah, atau justru regulasinya sendiri belum cukup efektifm embendung praktik-praktik yang merugikan.
Jika komite sekolah dibubarkan, lantas siapa yang akan mengisi kekosongan perbannya?. Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Peran pengawasan bisa diperkuat melalui Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Partisipasi masyarakat bisa dialihkan melalui forum-forum musyawarah atau badan perwakilan orang tua yang lebih transparan dan tidak memiliki wewenang menggalang dana secara langsung.
Urusan pendanaan pendidikan, idealnya, harus menjadi tanggung jawab penuh negara melalui APBN dan APBD. Jika dana yang dialokasikan masih belum mencukupi, maka fokusnya harus pada peningkatan alokasi anggaran, bukan dengan membebankan kepada orang tua siswa melalui komite sekolah. Dengan demikian, pendidikan benar-benar menjadi hak dasar yang difasilitasi oleh negara, bukan semata-mata bergantung pada kemampuan finansial orang tua.
Pembubaran komite sekolah bukan berarti meniadakan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Justru sebaliknya, ini adalah momentum untuk mereformasi bentuk partisipasi agar lebih konstruktif, transparan, dan tidak memberatkan.
Dengan menghapus potensi pungutan liar dan konflik kepentingan, kita bisa menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan fokus pada peningkatan mutu tanpa ada beban finansial tambahan yang tidak perlu bagi orang tua.
Saatnya kita berani mengambil langkah berani demi masa depan pendidikan yang lebih baik. Pembubaran komite sekolah, dengan disertai penguatan fungsi pengawasan dan peningkatan alokasi anggaran dari pemerintah, bisa menjadi langkah awal menuju sistem pendidikan yang lebih bersih, akuntabel, dan benar-benar melayani seluruh anak bangsa. @red
Dilangsir Media Sindikat post. Tgl. 23 Juli 2025 Judul : Saatnya Meninjau Ulang Keberadaan Komite Sekolah