Pengamat hukum Didi Sungkono S.H., M.H. (Foto: Istimewa )
Surabaya, Jogojatim.com – Pengamat hukum Didi Sungkono S.H., M.H., angkat bicara dan memberikan perspektif hukum yang jelas terkait praktik penahanan ijazah oleh perusahaan.
Menurut Didi Sungkono, secara prinsip, penahanan ijazah oleh perusahaan diperbolehkan dengan catatan adanya kesepakatan yang jelas dan tertulis antara perusahaan dan karyawan yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Kesepakatan ini menjadi landasan legal bagi perusahaan untuk menahan dokumen berharga tersebut.
“Penahanan ijazah itu sah-sah saja asalkan ada meeting of mind, ada kesepakatan dari kedua belah pihak dan itu tertuang secara eksplisit dalam perjanjian kerja. Jika tidak ada klausul tersebut, maka perusahaan tidak punya dasar untuk menahan ijazah karyawan,” tegas Didi Sungkono saat dihubungi awak media, Senin (14/4/2025).
Lebih lanjut, Didi Sungkono menekankan bahwa penahanan ijazah tanpa persetujuan karyawan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar individu. Tindakan sewenang-wenang ini, menurutnya, dapat berujung pada sanksi hukum bagi perusahaan.
“Karyawan punya hak untuk menolak jika di awal tidak ada kesepakatan soal penahanan ijazah. Ijazah itu dokumen pribadi yang penting, dan perusahaan tidak bisa menahannya begitu saja tanpa dasar yang jelas,” ujarnya.
Didi Sungkono menjelaskan bahwa praktik penahanan ijazah seringkali dilakukan perusahaan sebagai jaminan agar karyawan tidak mengundurkan diri secara tiba-tiba dan dapat memenuhi kewajibannya selama masa kerja.
Namun, ia kembali mengingatkan bahwa hal ini harus disepakati secara tertulis di awal masa kerja.
Potensi kerugian bagi karyawan akibat penahanan ijazah juga menjadi perhatian Didi Sungkono. Ia menyoroti bahwa jika perusahaan lalai mengembalikan ijazah setelah masa kerja usai atau bahkan menghilangkan dokumen tersebut, karyawan berhak untuk menggugat perusahaan atas dasar wanprestasi.
“Bahkan, jika ada unsur kesengajaan untuk tidak mengembalikan atau menghilangkan ijazah, perusahaan bisa dilaporkan ke polisi atas dugaan tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” imbuhnya.
Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak secara eksplisit melarang penahanan ijazah, Didi Sungkono menunjuk pada regulasi yang lebih spesifik di tingkat daerah, yaitu Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur Nomor 08 Tahun 2016. Pergub ini secara tegas melarang pengusaha untuk menahan ijazah asli pekerja sebagai jaminan.
“Pergub Jawa Timur ini jelas mengatur bahwa pengusaha dilarang menahan, menyimpan dokumen asli yang melekat pada pekerja. Ini adalah aturan yang mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh pengusaha di Jawa Timur,” tandasnya.
Didi Sungkono kembali menegaskan bahwa kunci utama dalam polemik penahanan ijazah adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang tertuang dalam perjanjian kerja.
Tanpa adanya kesepakatan tersebut, perusahaan tidak memiliki legitimasi hukum untuk menahan ijazah karyawan.
“Secara hukum ketenagakerjaan, karyawan memiliki hak untuk menolak penahanan ijazah jika tidak ada dalam perjanjian kerja, dan berhak mendapatkan kembali ijazahnya setelah kewajibannya selesai,” jelasnya.
Dalam konteks hukum perdata, Didi Sungkono menekankan pentingnya kesepakatan yang jelas dan rinci. Jika penahanan ijazah disepakati, maka perlu diatur secara detail mengenai durasi penahanan, prosedur pengembalian, serta sanksi yang berlaku jika salah satu pihak melanggar perjanjian. Ia menyarankan agar kesepakatan tersebut dibuat secara notarial untuk menghindari adanya ingkar janji atau wanprestasi di kemudian hari.
Menyikapi potensi sengketa, Didi Sungkono memberikan beberapa opsi upaya hukum yang dapat ditempuh karyawan jika ijazahnya ditahan tanpa persetujuan atau setelah masa kerja berakhir.
“Karyawan bisa melaporkan kejadian ini ke polisi terdekat dengan membawa bukti tanda terima penyerahan ijazah (jika ada) sebagai bukti formil. Selain itu, karyawan juga berhak untuk menggugat perusahaan secara perdata,” pungkas Didi Sungkono.
Pernyataan Didi Sungkono ini memberikan kejelasan hukum terkait polemik penahanan ijazah dan menjadi catatan penting bagi perusahaan maupun pekerja di Jawa Timur, khususnya dalam menyikapi kasus yang melibatkan Wakil Walikota Surabaya dan pengusaha Jan Hwa Diana. @red.