Guru Besar Ilmu Manajemen Pada Akademi Sekretari dan Manajemen Indonseis (ASMI) Surabaya.

Nasional, Pendidikan288 Dilihat

Prof.Dr. Oscarius Y.A, Wijaya,M.Si.,M.H.,M.M.,CLI.

Dampak Efisiensi Anggaran oleh Pemerintah pada Kemdiktisaintek terhadap Kualitas Pendidikan

Surabaya, Jogojatim.com – Belum tuntasnya masalah tukin dosen PNS/ASN yang belum dibayarkan sejak tahun 2020, tampaknya belum cukup menambah penderitaan bagi mereka yang berprofesi sebagai dosen baik PNS maupun non-PNS. Saat ini efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Pemerintahan Presiden Prabowo terhadap anggaran Kemdiktisaintek yang awalnya memiliki pagu Rp. 57.6 triliun dan harus dilakukan pengurangan sebesar Rp. 14.3 triliun (detik.com/sumut/berita) berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yaitu mengenai keharusan adanya efisiensi anggaran senilai total Rp. 306.7 triliun (kompas.com/tren) hal ini berakibat pada pemotongan tunjangan dosen non-PNS sebesar 25%. Langkah ini berpotensi membawa dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Dampak terhadap Kesejahteraan Dosen dan Motivasi Mengajar

Dosen memiliki peran krusial dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Mereka mengemban tugas pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, yang menjadi indikator utama dalam penilaian mutu perguruan tinggi.

Pengurangan tunjangan dosen non-PNS sebesar 25% akan berdampak langsung pada kesejahteraan mereka, yang pada akhirnya dapat menimbulkan demotivasi dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi.

Menurut teori motivasi Herzberg (1959), kesejahteraan finansial termasuk dalam kategori hygiene factors yang jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja. Ketika dosen kehilangan sebagian besar tunjangan, mereka cenderung mencari sumber penghasilan tambahan di luar aktivitas akademik, yang dapat mengurangi waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk mahasiswa.

Akibatnya, kualitas pembelajaran menurun karena dosen memiliki keterbatasan dalam mempersiapkan materi, melakukan evaluasi, serta memberikan bimbingan akademik yang optimal.

Sebagai contoh, banyak dosen harus mencari pekerjaan sampingan sebagai konsultan atau tutor privat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Akibatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk menyusun materi kuliah yang lebih inovatif justru berkurang. Ini menyebabkan pengalaman belajar mahasiswa menjadi kurang interaktif dan berdampak pada rendahnya pemahaman konsep yang lebih mendalam.

Penurunan Kualitas Pengajaran dan Bimbingan Mahasiswa

Pendidikan tinggi yang berkualitas memerlukan perhatian dan keterlibatan penuh dari para dosen. Dengan adanya pemotongan tunjangan khususnya pada dosen non-PNS cenderung mengurangi intensitas interaksi dengan mahasiswa. Bimbingan akademik, termasuk konsultasi tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi, berpotensi mengalami penurunan kualitas karena keterbatasan waktu dan motivasi dari dosen.

Tulisan Altbach dan Salmi (2011) mengenai faktor penentu keberhasilan pendidikan tinggi, interaksi intensif antara mahasiswa dan dosen merupakan salah satu aspek utama dalam menciptakan lulusan berkualitas. Dengan menurunnya keterlibatan dosen akibat pemotongan tunjangan, mahasiswa akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar yang mendalam, berdampak pada rendahnya kompetensi lulusan dalam menghadapi dunia kerja.

Contoh nyata lainnya yang sering terjadi ialah di mana para dosen yang sebelumnya memiliki waktu cukup untuk melakukan konsultasi skripsi kini harus mengurangi sesi bimbingannya. Mahasiswa yang sedang menyusun skripsi pun mengalami kesulitan dalam mendapatkan umpan balik yang cepat, menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian studi mereka.

Dampak terhadap Penelitian dan Inovasi Akademik Salah satu aspek penting dari pendidikan tinggi adalah kegiatan penelitian yang mendukung inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dosen non-PNS, yang sebagian besar juga terlibat dalam penelitian, kemungkinan akan mengalami penurunan produktivitas akibat pengurangan tunjangan. Kurangnya dukungan finansial dapat menyebabkan mereka enggan untuk mengajukan proposal penelitian, menghadiri seminar ilmiah atau berpartisipasi dalam proyek riset yang membutuhkan biaya tambahan.

Dalam teori “Triple Helix” yang dikembangkan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff (2000), hubungan antara universitas, industri, dan pemerintah sangat menentukan kemajuan inovasi suatu negara. Tunjangan merupakan reward sebagai kebijakan pemerintah untuk mengapresiasi dosen dalam bentuk insentif dan jika dosen mengalami penurunan insentif dalam melaksanakan Tridharma, maka dampak jangka panjangnya adalah berkurangnya kontribusi akademisi dalam pengembangan teknologi dan kebijakan berbasis ilmiah. Hal ini pada akhirnya dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan di Indonesia.

Sebagai contoh, di salah satu kampus terkemuka di Indonesia, pengurangan reward berupa tunjangan atau intensif lainnya, menyebabkan sejumlah dosen menolak untuk terlibat dalam penelitian kolaboratif dengan industri. Mereka lebih memilih proyek dengan honor yang lebih tinggi di luar kampus,hal ini menghambat inovasi dan hilirisasi riset yang seharusnya menjadi kekuatan perguruan tinggi dalam mendukung daya saing nasional.

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Kebijakan efisiensi anggaran dalam sektor pendidikan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kualitas pendidikan tinggi. Pengurangan tunjangan dosen non-PNS sebesar 25% berpotensi menurunkan motivasi, kualitas pengajaran, serta produktivitas penelitian yang berdampak langsung pada kualitas lulusan. Pemerintah perlu mencari solusi alternatif dalam mengelola anggaran tanpa mengorbankan kesejahteraan para dosen yang termasuk dalam kategori middle class.

Dapat dibayangkan sebagai contoh nyata dimana seorang dosen tetap yayasan dalam jabatan Lektor Kepala Golongan III-D dengan masa kerja 6 tahun yang memperoleh tunjangan sertifikasi sebesar Rp. 3.461.900,- (sebelum dipotong pajak sebesar 5%) dan akibat efisiensi 25% ia hanya menerima Rp. 2.596.425,- dikurangi lagi pajak 5% maka jumlah akhir yang ia terima adalah Rp. 2.466.603.75, selisih tersebut sangatlah signifikan.Perlu diketahui juga bahwa tidak semua dosen non-PNS bekerja pada Badan Penyelenggara Pendidikan atau Yayasan yang mapan sehingga tunjangan dari pemerintah menjadi sesuatu yang sangat diandalkan untuk menopang kesejahteraan mereka.

Tampaknya langkah memotong anggaran pada Kemdiktisaintek perlu dikaji ulang untuk menjaga kualitas pendidikan tanpa harus mengorbankan kesejahteraan dosen yang merupakan pilar utama dalam ekosistem akademik.

by Redaksi