JOGOJATIM. SURABAYA – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022, yang menolak permohonan uji materil pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Namun dalam pertimbangannya, MK memerintahkan Pemerintah untuk segera melakukan riset terhadap Narkotika Golongan I dengan kepentingan praktis pelayanan kesehatan. MK menekankan bahwa hasil dari pengkajian dan penelitian ilmiah tersebut harus dijadikan sebagai bahan oleh pembuat kebijakan, untuk mengubah peraturan terkait pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.
Para pemohon sebelumnya meminta Mahkamah Konstitusi untuk mencabut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Para Pemohon berargumen bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas kesehatan dan Pasal 28C ayat (1) tentang hak untuk memperoleh manfaat dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sidang permohonan perkara ini telah digelar sebanyak sepuluh kali sejak permohonan dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi pada 19 November 2020. Para pemohon perorangan yang mengajukan permohonan antara lain Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Muharyanti yang masing-masing memiliki anak dengan Cerebral Palsy dan membutuhkan pengobatan dengan Narkotika Golongan I.
“Sedangkan para pemohon lembaga yaitu ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara masing-masing merupakan bagian dari Koalisi Jaringan Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang mengupayakan reformasi kebijakan
narkotika di Indonesia,” kata pengacara Rudy Wedhasmara,SH,MH selaku pihak aktivis advokasi narkotika kepada wartawan, Rabu (20/7/2022).
“Dalam pertimbangannya, MK berpandangan bahwa meskipun berbagai negara telah mengatur soal penggunaan beberapa jenis Narkotika Golongan I untuk pengobatan, namun bukan berarti negara-negara lain yang belum mengatur seperti Indonesia juga tidak mengoptimalkan penggunaan narkotika untuk pelayanan kesehatan,” jelasnya.
Salah satu alasan MK yakni bahwa jenis narkotika yang mungkin dapat bermanfaat untuk pelayanan kesehatan
tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan dari tingkat ketergantungannya yang tinggi.
Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa fakta berbagai negara sudah mengatur hal
tersebut, tidak dapat dijadikan parameter untuk diterapkan semua negara karena ada
karakter yang berbeda, jenis bahan narkotika, struktur budaya hukum, sarana prasarana yang dibutuhkan. Selebihnya, MK juga menyatakan bahwa ketentuan penggolongan dan pengaturan sebagaimana dalam pasal aquo termasuk dalam open legal policy atau kewenangan dari pembuat undang-undang.
Dengan demikian reformasi kebijakan narkotika sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah dan DPR. Untuk itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar:
1. Sebagai open legal policy, maka dalam proses revisi UU Narkotika, Pemerintah dan
DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk
kepentingan kesehatan, sehingga Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU
Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika. Dengan revisi ini, maka Pemerintah maupun Swasta sesuai dengan amanat MK akan memiliki peluang yang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika, dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan, bahkan sampai dengan membangun sistem yang kuat terkait dengan hal tersebut.
2. Pemerintah segera melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan. Penelitian ini juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif
tentang pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Sebagai catatan, MK menekankan kata “segera” pada putusannya, sehingga hal ini
harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga dapat merujuk penelitian-penelitian lain di luar negeri maupun yang dikelarkan badan PBB seperti kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).
3. Bersamaan dengan itu, Pemerintah juga harus memberikan solusi kepada
anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan
pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu
memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak “tercover” BPJS dan
peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi.(jhon/RED)